Jumat, 17 Agustus 2012

CSR Tidak Lagi Wajib

Oleh: Miko Kamal
Konsep mandatory CSR Indonesia masih rancu; meninggalkan debat dan masih terbuka ruang bagi perseroan-perseroan untuk menghindari kewajiban CSR mereka.

Penantian panjang itu berujung juga. Setelah hampir lima tahun menunggu, tepat pada tanggal 4 April 2012, Pemerintah akhirnya menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 2012 (PP No. 47/2012) tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) Perseroan Terbatas. Sebagaimana yang tertera di dalam Pasal 74 ayat (4), PP No. 47/2012 merupakan amanat langsung dari Undang Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU No. 40/2007).

Kekosongan hampir lima tahun itu sering dijadikan pembenar oleh beberapa perseroan untuk mengingkari pelaksanaan tanggung jawab mereka terhadap lingkungan dan sosial. Makanya, wajar bila harapan banyak orang kepada PP No. 47/2012 meluap tinggi demi melihat jalannya dengan baik program TJSL sebagai salah satu jalan yang dapat ditempuh untuk mewujudkan cita-cita kesejahteraan.

Pasal 74 UU No. 40/2007 bukanlah aturan formal pertama yang memperkenalkan konsep TJSL yang di Indonesia pemakaian istilahnya sering dipertukarkan dengan corporate social responsibility (CSR). Sekitar tiga bulan sebelum UU No. 40/2007 lahir, Pemerintah telah memperkenalkan konsep CSR melalui Undang Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UU No. 25/2007). Pasal 15 huruf b UU No. 25/2007 menyatakan bahwa 'setiap penanam modal berkewajiban melaksanakan tanggung jawab perusahaan'.

Tidak lagi mandatory
Salah satu perdebatan hebat yang mengawali lahirnya konsep formal CSR Indonesia adalah tentang apakah CSR sebagai kewajiban (mandatory) atau kesukarelaan (voluntary) sebuah perseroan. Pemenang formal pertarungan itu adalah para pendukung CSR sebagai kewajiban perseroan, yang terbukti dengan kehadiran rumusan rancak Pasal 74 ayat (1), (2) dan (3) UU No. 40/2007.

Tak puas dengan itu, pada tahun 2009 beberapa orang memohonkan uji materiil terhadap Pasal 74 ayat (1), (2) dan (3) tersebut ke Mahkamah Konstitusi. Pada tanggal 15 April 2009, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan yang menolak permohonan para Pemohon. Dengan demikian, CSR tetap merupakan kewajiban bagi perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam.

Namun demikian, itu bukan berarti konsep mandatory CSR Indonesia sudah benar-benar beres. Konsep mandatory CSR Indonesia masih rancu; meninggalkan debat dan masih terbuka ruang bagi perseroan-perseroan untuk menghindari kewajiban CSR mereka. Kerancuan konsep mandatory itu dapat ditelusuri di dalam Pasal 74 ayat (1), (2) dan (3) UU No. 40/2007.

Amanat Pasal 74 ayat (1) amat jelas bahwa CSR wajib hukumnya bagi perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam. Ayat tersebut dikuatkan oleh ayat (2) yang menyatakan bahwa sebagai wujud konkret kewajiban CSR, perseroan harus memasukkan dana CSR di dalam anggaran perseroan dan diperhitungkan sebagai biaya.

Sayangnya, ayat (1) dan (2) dirancukan oleh ayat (3) yang menyatakan bahwa 'Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan'.

Ayat (3) bukanlah kelanjutan atau penguatan konsep mandatory yang mengatur tentang kewajiban perseroan menganggarkan dana CSR sebagai biaya sebagaimana yang diamanatkan oleh ayat (2). Akan tetapi, ayat ini mengatur tentang kewajiban lain, yaitu kewajiban perseroan untuk mematuhi aturan tentang tanggung jawab perseroan sebagaimana yang tertera di dalam peraturan perundang-undangan tertentu.

Misalnya, sebuah perseroan pertambangan dalam aktivitasnya meninggalkan kerusakan pada lingkungan yakni terlanggarnya baku mutu air limbah, baku mutu emisi, atau baku mutu gangguan tambang dalam operasinya, maka kewajiban hukum atau sanksi yang akan dijatuhkan kepada perseroan tersebut adalah sanksi yang termaktub di dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. 

Idealnya, PP No. 47/2012 hadir untuk menjawab atau memperjelas kerancuan konsep mandatory CSR dan memperkuat konsep yang tersurat di dalam Pasal 74 ayat (1) dan (2) UU No. 40/2007 dan sudah pula dilegalisasi oleh Mahkamah Konstitusi.

Alih-alih memperbaiki kerancuan dan memperkuat konsep mandatory, PP No. 47/2012 justru membuat konsep mandatory CSR Indonesia menjadi semakin tak jelas. Kenyataannya, tak satupun kalimat di dalam PP No. 47/2012 yang memerintahkan perseroan untuk memasukkan dana CSR dalam anggaran biaya perseroan. PP No. 47/2012 memberikan sepenuhnya otonomi penganggaran itu kepada internal perseroan.

Sebagaimana yang tertera di dalam Pasal 4 ayat (1) PP No. 47/2012, TJSL atau CSR dilaksanakan oleh direksi perseroan berdasarkan rencana kerja tahunan setelah mendapatkan persetujuan dewan komisaris atau Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Maknanya, Pasal 4 ayat (1) ini menyerahkan sepenuhnya apakah menjadikan TJSL atau CSR wajib atau tidak kepada internal perusahaan (dewan komisaris atau RUPS). Pasal ini juga melucuti sama sekali kuasa negara untuk memaksa perseroan yang tidak memasukkan mata anggaran CSR di dalam daftar biayanya.

Makna kehadiran PP No. 47/2012 sebenarnya adalah, CSR atau TJSL tidak lagi wajib bagi perseroan di Indonesia dan dalam praktiknya kelak aturan baru ini akan berpotensi menjadi alat pembenar tambahan bagi pengelola dan pemilik korporasi-korporasi yang selama ini enggan menjalankan kewajiban sosial mereka.

*Penulis adalah seorang advokat dan staf pengajar pada Program Magister Hukum Universitas Bung Hatta Padang.

(Sumber : http://www.hukumonline.com)

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | JCPenney Coupons