“Ada apa, ngelamun terus?”
“Eh kau Win,” jawab Kris dengan senyum hambar. Erwin ikut duduk dengan Kris di bangku kayu halaman rumah Kristianto.
”Mikir apa sih Kris, rasanya ruwet benar?”
"Ah, nggak."
"Lian ya? Tadi ada pesan dari dia. Nanti malam kau harus menemuinya."
"Ada apa?" Kris seperti bersemangat.
"Entahlah. Mungkin dia akan menjawab masalah yang sesungguhnya dengan kamu. Karena aku lihat belakangan ini antara kalian terjadi konflik."
Kris mengerutkan dahi. Hatinya kembali bertanya. Ada apa dengan Lian? Mau minta maaf? Ah . . . tidak mungkin. Tapi dia ingin bertemu denganku?"
"Hei! Ditanya kok malah ngelamun?"
Kris tergagap. Ia berusaha menenangkan hatinya.
"Di mana aku menemui dia Win?"
"Di tempat biasa?"
"Di Taman Segitiga?"
"Ya. Di mana lagi?"
Matahari kian condong ke arah barat, sementara mereka asyik dengan obrolannya. Ketika bayang-bayang mulai memanjang Erwin pamit pulang. Mereka beranjak dari halaman.
Menjelang Berita Nasional pada acara TV Kris pergi menemui Lian di tempat yang telah dijanjikan. Taman yang tidak begitu jauh dari rumahnya terlihat sepi. Hanya ada beberapa kendaraan saja yang lalu lalang di sisi taman. Mata Kris menerawang ke setiap sudut mencari sesuatu. Kris mendesah. Tak dijumpainya Lian di taman. Dengan gelisah Kris duduk di sudut taman. Dinyalakan rokok kesukaannya.
"Sudah lama, Kris?" Suara lembut menyapa.
"Eh, kau, Baru saja. Duduk?" Kris menggeser duduknya.
"Terima kasih."
"Lian kau memanggilku?" Kris tak mau ada basa-basi.
Lian diam. Belum mau menjawab. Ia masih mempertimbangkan apa yang akan dibicarakan. Kris memperhatikan.
"Lian ada apa?" Kris penasaran.
Dengan agak ragu akhirnya Lian membuka pembicaraannya.
"Kris, saya minta maaf. Mungkin saya wanita yang paling menyebalkan. Saya sering mengecewakan kamu," Lian berhenti sejenak. Agak takut ia melanjutkan. Pandangannya lurus ke depan. Seakan ia takut menatap pria di sisinya. Kris masih memperhatikan. Dengan suara petan akhirnya Lian membuka mulut lagi.
"Kris . . . sudah berapa lama kita kenal?" "Lima tahun. Kenapa?"
"Cukup lama ya?" Kris mengangguk pelan.
"Kau pria yang baik Kris. Tapi saya. Apa yang telah saya berikan untuk kamu?"
"Banyak. Kau juga wanita yang baik Lian. Kau . . . "
"Kris . . . "Lian memotong.
"Saya ingin kejujuran. Kau bicara tidak seperti apa kata hatimu. Saya tak pernah memberikan yang terbaik untukmu."
Kris diam. Kini pandangan mereka berbalik. Kris menatap jauh ke depan. Lian mengikuti.
"Kris . . . saya bangga dapat memilikimu. Tapi sayang Kris. Kita . . . kita tak akan menyatu." Wajahnya tertunduk. Jari-jari tangan kanan meremas rambut. Matanya kelihatan mulai berair. Kris tak mengerti. Kris mengulurkan tangannya meraih pundak Lian.
"Lian, saya tak mengerti dengan pembicaraan kau?"
Dengan sedikit terisak Lian menjawab.
"Kau tak akan pernah mengerti Kris. Maafkan saya!" Lian merebahkan wajahnya di dada Kris. Mereka diam. Hanya sedikit isakan dan suara kendaraan saja yang terdengar.
Lian menarik wajahnya. Mereka saling pandang. Mata Lian nanar. Menatap jauh ke lubuk hati Kris. Benarkah laki-laki yang dicintainya bicara jujur? Dan benarkah ia akan memberikan yang terbaik? Tanya hatinya lagi.
"Lian . . . " Suara Kris lembut.
"Katakanlah, apa sebenarnya yang akan kamu katakan kepada saya? Saya akan terima. Percayalah!" Jelas Kris sambil memegang kedua lengan gadisnya.
"Sungguh?"
"Sungguh." Kris meyakinkan.
Lian mulai mencari-cari dari mana ia harus memulai lagi. Akhirnya.
"Saya yakin, kamu mengerti keinginan orangtua saya tentang karier dan . . . jodoh saya". Lian tak meneruskan. Ia mencari kepastian dahulu pada wajah Kris. Lagi-lagi Kris mengangguk kecil.
"Kris. Saya tak pernah menyangka kalau semua ini akan terjadi."
"Maksud kamu?" Kris mengguncang tubuh Lian.
"Kris. Kau janji takkan marah. Kau ingin saya jujur?", Kris melepaskan kedua tangannya.
"Ya." Jawabnya lembut.
"Saya tak ingin bertele-tele Kris. Saya ingin mengatakan yang sesungguhnya. Orangtua saya, menerima lamaran Mas Doni," suara Lian terbata.
"Kris diam. Menghela nafas panjang. Tatapannya kembali jauh ke depan.
"Lalu bagaimana dengan kau?" Kris seperti berat mengucapkan. "Orangtuaku memaksa Kris".
Lian menunduk. Kembali air matanya jatuh di pipi. Sambil memainkan jari-jarinya dengan suara terputus Lian melanjutkan. "Sekarang saya pasrah Kris. Kau mau apakan saya. Saya mengecewakan kamu. Tapi saya mencintai kamu Kris. Sungguh!" Kris tak menjawab. Ia berusaha melawan perasaannya. Rasa kesal, marah, sayang dan iba menjadi satu. Setelah agak lama keduanya terdiam. Kris dengan suara gemetar menanggapi.
"Lian. Saya mencintai kamu. Saya sayang kamu. Saya tidak mau mengecewakan kamu. Kini, kamu sudah melakukan yang terbaik".
"Tidak! Saya tahu kamu marah. Kamu benci sama saya!" Suara Lian agak meninggi.
"Lian, percayalah. Saya senang kamu-mau berterus terang". "Kris", bisik Lian Iirih.
Mata Lian basah. Pandangan mereka beradu.
"Saya. Saya, tidak dapat berbuat apa-apa". Lagi-lagi Lian merebahkan wajahnya di dada Kris. Dibelainya rambut Lian. Meski terasa sakit Kris berusaha bersikap wajar.
"Sudahlah. Jangan menangis. Tuhan belum menghendaki kita untuk bersatu. Lian... saya akan bahagia jika melihat kau bahagia. Turutilah keinginan orangtuamu".
"Saya tahu kau menyesal, Kris".
"Tidak Lian." Kris terpaksa berbohong.
"Jangan dustai Kris. Suaramu".
Kris tak menimpali. Lian menarik wajahnya.
"Kris. Carilah gadis lain yang dapat membahagiakan kamu: Yang dapat mengerti kamu. Selama ini saya bahagia sekali bersamamu. Saya sangat berterima kasih sekali. Kamu sudah banyak mengorbankan waktumu untuk saya. Kamu memang baik Kris".
Kris masih diam. Ia kembali menyalakan rokoknya. Dihisapnya dalam-dalam. Sepertinya asap rokok dapat menenangkan hatinya. "Ada yang kamu pinta dari saya Kris'?"
Kris tak bergeming. "Kris," Lian merajuk.
Kris menatap wajah Lian yang masih memandanginya. Mata Lian seperti benar-benar berharap agar Kris dapat mengatakan sesuatu yang diinginkannya. Lama. Akhirnya Kris membuka mulut juga.
"Saya cuma pinta satu Lian. Cintailah suamimu. Ban bahagiakanlah anak-anakmu kelak. Tak usah kau pikirkan saya Lian," kata-kata Kris begitu jelas dan berwibawa.
"Kau tak minta apa-apa untuk dirimu Kris?"
Yang ditanya hanya menggeleng pelan. Dinikmatinya lagi asap rokok di tangan.
"Kenapa?" Seakan Lian tak percaya.
"Tidak apa-apa, Lian. Saya tak ingin cinta yang tulus hancur karena satu permintaan. Kau pasti mengerti Lian".
"Lian terdiam. Berpikir. Seandainya saya dapat memiliki dan mendampingimu Kris.
Matahari telah bersembunyi dibalik bukit. Cahayanya yang memerah lembayung semburat di langit. Udara panas yang sejak tengah hari menyengat kini telah berubah membawa kesejukan. Angin yang semilir membawa kesegaran.
Konon di sebuah perbukitan Sawal, suatu rombongan berbusana kerajaan serba mewah dengan segala peralatan berburu tengah berjalan menuruni lembah, berjalan menyusuri aliran sungai. Sejuknya udara, semilirnya angin belum mampu menghilangkan panas di badan. Belum mampu menghapus keringat yang berleleran. Hal itu wajar karena rombongan ini telah berjam-jam turun naik bukit disiram panasnya cahaya surya siang. Lembah dan jurang dituruni. Hutan belantara telah dirambah. Mereka menyusur sungai Citanduy yang berkelok-kelok. Air sungai Citanduy yang jernih tak mampu menghibur hati yang gundah. Tibalah mereka di muara sungai Cigede.
"Sang Prabu, tidakkah ada keinginan Sang Prabu hendak beristirahat barang sejenak?" Sang Patih memberanikan diri bersembah dan memohon dalam wajah yang kepucatan. Sebenarnyalah bahwa permohonan itu diucapkan terlebih untuk dirinya sendiri. Sebagai patih yang telah lama mengabdi selama puluhan tahun, dengan tenaganya yang sudah tidak lagi utuh, tidak berani terus terang memohon pada rajanya. Ia tahu Sang Prabu masih sangat muda. Tegap, masih bertenaga penuh. Berbeda dengan dirinya yang kekuatan tubuhnya telah digerogoti usia.
Laki-laki yang dipanggil Sang Prabu itu adalah Raja Diparanggabuana Haryamangunbumi, sang raja perkasa dari kerajaan Galuh di Banagara. Sebagai seorang muda yang perkasa, yang selalu ingin agar tubuhnya tetap segar dan tegap, berburu menjadi kegemarannya. Bukan daging buruan yang dicari, melainkan perjalanan panjang penuh bahaya, perjalanan panjang yang melelahkan, yang mampu menempa tubuh dan meneguhkan semangat, itulah yang men jadi tujuan utama. Ia menyadari bahwa sebagai raja yang sekaligus sebagai panglima ia harus selalu menjaga kebugaran tubuhnya.
Sang Prabu arif. Ia memahami apa yang tersembunyi di balik pertanyaan Sang Patihnya yang setia, namun usianya telah lanjut itu.
"Baiklah, Patih, kita beristirahat. Perintahkan para pengiring berhenti." Betapa gembira hati Sang Patih. Betapa riang para pengiring dan punggawa. Sudah lama sebenarnya kesempatan beristirahat di nanti-nanti. Tanpa menunggu komando mereka berhenti. Duduk bersandar pohon mengipasi tubuh. Memijit-mijit kaki. Menyeka keringat. Sebagian rombongan membasahi tubuh dengan menceburkan diri ke sungai. Bekal pun dibuka, disantap beramai-ramai. Betapa nikmat rasanya. Setelah hampir seharian perut menahan lapar dan haus, makan dan minum serasa tak ada yang menandingi nikmatnya.
Setelah menikmati istirahat, setelah pulih kembali tenaganya, Sang Patih berdatang sembah kepada Sang Prabu.
"Perkenankan hamba mendahului Gusti mencari jalan perburuan. Silakan Sang Prabu bercengkerama melcpas lelah."
Demikian Sang Patih ditemani seekor anjing yang setia meninggalkan romborigan menuju ke Selatan. Jalan setapak penuh belukar dilaluinya tanpa keluh kesah. Duri dan ranting pcpohonan yang menggores lengan tak dihiraukannya. Sang Patih terus berjalan ke Selatan. Adapun tujuan yang hendak dicapai adalah kaki gunung Sawal. Konon di situ banyak terdapat landak, binatang buruan yang sangat disenangi Sang Prabu Diparanggabuana Haryamangunbumi.
Mengendus-ngendus anjing mencium bau landak di kejauhan. Berlari-lari kecil mempertajam penciumannya anjing itu menyisir semak. Sang Patih mengikutinya penuh kewaspadaan dengan tombak di tangan siap dilemparkan. Benar juga. Dibalik seonggok ranting kayu terlihat seekor landak dengan bulunya mekar seperti bunga. Mendengar anjing mengendus, landak segera berlari menuju lubang persembunyiannya menyelamatkan diri. Lubang itu kecil kelihatannya, terlindung daundaun dan ranting. Bagi landak yang sudah biasa ke luar masuk, sama sekali ia tidak mendapat kesulitan. Segeralah landak itu hilang ditelan kekclaman dalam lubang yang serupa sebuah gua layaknya. Dari kejauhan Sang Patih mengawasi gerak langkah landak. Dan anjing kesayangan Sang Patih ikut pula lenyap dari pandangan Sang Patih. Rupanya anjing itu memburu landak masuk ke dalam lubang perlindungan.
Sejenak Sang Patih tertegun. Akankah ia mengikuti kedua binatang itu masuk pula ke dalam lubang? Ia ragu dan bimbang. Bagaimana bila nanti Sang Prabu mencarinya? Akankah Sang Prabu menemukan jalan masuk lubang itu? Apa pula yang terdapat di dalam lubang itu, kecuali landak dan anjingnya? Lagi pula kalau ia masuk ke dalam lubang itu, apakah ia yakin akan menemukan jalan ke luar? Dalam keadaan ragu ia memutuskan kembali ke rombongan untuk melaporkan apa yang baru saja dilihatnya.
"Tidak sia-sialah kiranya perjalanan kita, Tuanku. Hamba telah melihat sendiri seekor landak buruan masuk ke dalam lubang persembunyian. Anjing hamba yang setia masih berada di dalam lubang itu mengejarnya. Apakah harus hamba kejar masuk ke dalam lubang persembunyian landak itu?"
Begitu Sang Patih melapor dengan bangga seakan ia telah berjasa menangkap binatang buruannya, betapa gembira Sang Prabu mendengar ihwal laporan patih kesayangannya. Segeralah Sang Prabu berangkat diiringi Sang Patih beserta rombongan pengiringnya. Sesampainya ke lubang perlidungan, tanpa dapat dicegah Sang Prabu segera masuk mengejar landak binatang buruannya. Sebenarnya Sang Patih bersikeras hendak menemaninya masuk ke dalam lubang. Namun Sang Prabu menolaknya. Hanya scbuah pesan yang sempat ia ucapkan kcpada Sang Patih dan para pengiringnya.
"Hai, Patih kesayangan! Hai, Para pengiring setia! Dengarlah! Aku sendiri yang akan masuk ke lubang ini. Aku sendiri yang akan menangkap landak buruan yang telah membawa kita semua datang ke tempat ini. Aku akan masuk seorang diri. Tunggulah di luar. Yang Mahakuasa akan melindungiku. Hanya saja bila aku tidak kc luar lagi, hendaklah kau beri nama tcmpat ini Pasirdalem." Segera sesudah itu, Sang Prabu masuk ke dalam lubang perlindungan. Lenyap ditelan kekelaman.
Lama Sang Patih beserta rombongan pengiring menunggu di luar dengan sabar. Sementara itu, senja telah datang. Hari telah menjadi gelap. Rasa was-was segera menyelimuti hati mereka manakala Sang Prabu yang ditunggu-tunggu tidak pula muncul. Mereka tidak pula berani menyusul masuk ke dalam lubang. Satu jam, dua jam mereka menanti. Sehari dua hari mereka menunggu. Yang dinanti tetap tak kunjung tiba. Isak tangis mulai terdengar. Kesedihan hati menyelimuti mereka.
Apa boleh buat. Kehendak Yang Mahakuasa tidak dapat ditolak. Mereka dengan terpaksa meninggalkan Sang Ratu yang sangat dicintainya, sendiri di dalam lubang. Apa yang terjadi disana, walahu alam. Sesuai dengan pesan Sang Prabu, tempat itu akhirnya diberi nama PASIRDALEM.
Konon di sebuah perbukitan Sawal, suatu rombongan berbusana kerajaan serba mewah dengan segala peralatan berburu tengah berjalan menuruni lembah, berjalan menyusuri aliran sungai. Sejuknya udara, semilirnya angin belum mampu menghilangkan panas di badan. Belum mampu menghapus keringat yang berleleran. Hal itu wajar karena rombongan ini telah berjam-jam turun naik bukit disiram panasnya cahaya surya siang. Lembah dan jurang dituruni. Hutan belantara telah dirambah. Mereka menyusur sungai Citanduy yang berkelok-kelok. Air sungai Citanduy yang jernih tak mampu menghibur hati yang gundah. Tibalah mereka di muara sungai Cigede.
"Sang Prabu, tidakkah ada keinginan Sang Prabu hendak beristirahat barang sejenak?" Sang Patih memberanikan diri bersembah dan memohon dalam wajah yang kepucatan. Sebenarnyalah bahwa permohonan itu diucapkan terlebih untuk dirinya sendiri. Sebagai patih yang telah lama mengabdi selama puluhan tahun, dengan tenaganya yang sudah tidak lagi utuh, tidak berani terus terang memohon pada rajanya. Ia tahu Sang Prabu masih sangat muda. Tegap, masih bertenaga penuh. Berbeda dengan dirinya yang kekuatan tubuhnya telah digerogoti usia.
Laki-laki yang dipanggil Sang Prabu itu adalah Raja Diparanggabuana Haryamangunbumi, sang raja perkasa dari kerajaan Galuh di Banagara. Sebagai seorang muda yang perkasa, yang selalu ingin agar tubuhnya tetap segar dan tegap, berburu menjadi kegemarannya. Bukan daging buruan yang dicari, melainkan perjalanan panjang penuh bahaya, perjalanan panjang yang melelahkan, yang mampu menempa tubuh dan meneguhkan semangat, itulah yang men jadi tujuan utama. Ia menyadari bahwa sebagai raja yang sekaligus sebagai panglima ia harus selalu menjaga kebugaran tubuhnya.
Sang Prabu arif. Ia memahami apa yang tersembunyi di balik pertanyaan Sang Patihnya yang setia, namun usianya telah lanjut itu.
"Baiklah, Patih, kita beristirahat. Perintahkan para pengiring berhenti." Betapa gembira hati Sang Patih. Betapa riang para pengiring dan punggawa. Sudah lama sebenarnya kesempatan beristirahat di nanti-nanti. Tanpa menunggu komando mereka berhenti. Duduk bersandar pohon mengipasi tubuh. Memijit-mijit kaki. Menyeka keringat. Sebagian rombongan membasahi tubuh dengan menceburkan diri ke sungai. Bekal pun dibuka, disantap beramai-ramai. Betapa nikmat rasanya. Setelah hampir seharian perut menahan lapar dan haus, makan dan minum serasa tak ada yang menandingi nikmatnya.
Setelah menikmati istirahat, setelah pulih kembali tenaganya, Sang Patih berdatang sembah kepada Sang Prabu.
"Perkenankan hamba mendahului Gusti mencari jalan perburuan. Silakan Sang Prabu bercengkerama melcpas lelah."
Demikian Sang Patih ditemani seekor anjing yang setia meninggalkan romborigan menuju ke Selatan. Jalan setapak penuh belukar dilaluinya tanpa keluh kesah. Duri dan ranting pcpohonan yang menggores lengan tak dihiraukannya. Sang Patih terus berjalan ke Selatan. Adapun tujuan yang hendak dicapai adalah kaki gunung Sawal. Konon di situ banyak terdapat landak, binatang buruan yang sangat disenangi Sang Prabu Diparanggabuana Haryamangunbumi.
Mengendus-ngendus anjing mencium bau landak di kejauhan. Berlari-lari kecil mempertajam penciumannya anjing itu menyisir semak. Sang Patih mengikutinya penuh kewaspadaan dengan tombak di tangan siap dilemparkan. Benar juga. Dibalik seonggok ranting kayu terlihat seekor landak dengan bulunya mekar seperti bunga. Mendengar anjing mengendus, landak segera berlari menuju lubang persembunyiannya menyelamatkan diri. Lubang itu kecil kelihatannya, terlindung daundaun dan ranting. Bagi landak yang sudah biasa ke luar masuk, sama sekali ia tidak mendapat kesulitan. Segeralah landak itu hilang ditelan kekclaman dalam lubang yang serupa sebuah gua layaknya. Dari kejauhan Sang Patih mengawasi gerak langkah landak. Dan anjing kesayangan Sang Patih ikut pula lenyap dari pandangan Sang Patih. Rupanya anjing itu memburu landak masuk ke dalam lubang perlindungan.
Sejenak Sang Patih tertegun. Akankah ia mengikuti kedua binatang itu masuk pula ke dalam lubang? Ia ragu dan bimbang. Bagaimana bila nanti Sang Prabu mencarinya? Akankah Sang Prabu menemukan jalan masuk lubang itu? Apa pula yang terdapat di dalam lubang itu, kecuali landak dan anjingnya? Lagi pula kalau ia masuk ke dalam lubang itu, apakah ia yakin akan menemukan jalan ke luar? Dalam keadaan ragu ia memutuskan kembali ke rombongan untuk melaporkan apa yang baru saja dilihatnya.
"Tidak sia-sialah kiranya perjalanan kita, Tuanku. Hamba telah melihat sendiri seekor landak buruan masuk ke dalam lubang persembunyian. Anjing hamba yang setia masih berada di dalam lubang itu mengejarnya. Apakah harus hamba kejar masuk ke dalam lubang persembunyian landak itu?"
Begitu Sang Patih melapor dengan bangga seakan ia telah berjasa menangkap binatang buruannya, betapa gembira Sang Prabu mendengar ihwal laporan patih kesayangannya. Segeralah Sang Prabu berangkat diiringi Sang Patih beserta rombongan pengiringnya. Sesampainya ke lubang perlidungan, tanpa dapat dicegah Sang Prabu segera masuk mengejar landak binatang buruannya. Sebenarnya Sang Patih bersikeras hendak menemaninya masuk ke dalam lubang. Namun Sang Prabu menolaknya. Hanya scbuah pesan yang sempat ia ucapkan kcpada Sang Patih dan para pengiringnya.
"Hai, Patih kesayangan! Hai, Para pengiring setia! Dengarlah! Aku sendiri yang akan masuk ke lubang ini. Aku sendiri yang akan menangkap landak buruan yang telah membawa kita semua datang ke tempat ini. Aku akan masuk seorang diri. Tunggulah di luar. Yang Mahakuasa akan melindungiku. Hanya saja bila aku tidak kc luar lagi, hendaklah kau beri nama tcmpat ini Pasirdalem." Segera sesudah itu, Sang Prabu masuk ke dalam lubang perlindungan. Lenyap ditelan kekelaman.
Lama Sang Patih beserta rombongan pengiring menunggu di luar dengan sabar. Sementara itu, senja telah datang. Hari telah menjadi gelap. Rasa was-was segera menyelimuti hati mereka manakala Sang Prabu yang ditunggu-tunggu tidak pula muncul. Mereka tidak pula berani menyusul masuk ke dalam lubang. Satu jam, dua jam mereka menanti. Sehari dua hari mereka menunggu. Yang dinanti tetap tak kunjung tiba. Isak tangis mulai terdengar. Kesedihan hati menyelimuti mereka.
Apa boleh buat. Kehendak Yang Mahakuasa tidak dapat ditolak. Mereka dengan terpaksa meninggalkan Sang Ratu yang sangat dicintainya, sendiri di dalam lubang. Apa yang terjadi disana, walahu alam. Sesuai dengan pesan Sang Prabu, tempat itu akhirnya diberi nama PASIRDALEM.
Jauhar : Sudah dengar kamu Kandar, seorang pengusaha akan mendirikan gedung bioskop?
Kandar : Baguslah, berarti tambah arena hiburan lagi.
Jauhar : Kamu sih, hanya mikirin hiburannya saja.
Kandar : Habis, kita kan perlu hiburan. Siapa orangnya nggak senang hiburan?
Cece : Masalahnya begini, Kandar. Bioskop sih perlu. Tapi letaknya itu lho, yang jadi masalah.
Jauhar : Apa pantas gedung bioskop berdekatan dengan sekolah? Bagaimana dengan anak anak? Apa tidak terganggu belajarnya?
Kandar : Tenang, Jauhar. Kalau itu masalahnya, mudah dipecahkan.
Cece : Kamu tahu bagaimana pemecahannya?
Kandar : Begini Ce, Har. Adanya gedung bioskop kan tidak mengganggu kegiatan belajar. Belajar pagi. Sedangkan bioskop pertunjukkannya sore. Jadi, sekolah jalan, bioskop jalan. Beres, kan?
Jauhar : Kamu meninjau masalah secara dangkal, sih. Kalau pun film diputar sore hari apa disangka tidak ada pengaruh negatifnya?
Kandar : Pengaruh negatif apa? saya nggak melihat yang negatif, kok!
Jauhar : Apakah anak-anak tidak akan terpengaruh oleh gambar-gambar yang dipajang? Apakah mereka tidak akan lebih tertarik melihat gambar daripada belajar di sekolah? Nah, apakah itu tidak akan mempengaruhi semangat belajar?
Cece : Makanya, berpikirlah agak dewasa Kandar
Kandar : Ya . . . baru saya sadari.
Ciuman itu air garam layaknya
Semakin banyak diteguk semakin hauslah kitaCiuman itu bagaikan candu
Menimbulkan rasa kasmaran dan rindu
Ciuman adalah ibadah
Jika dilakukan dengan pasangan sah
Ciuman adalah dosa
Jika untuk memuaskan syahwat buta semata
0 komentar:
Posting Komentar